Selamat Menempuh Hidup Baru, Arema

And The Show Begin,,itulah yang bisa saya ucapkan begitu mendengar dari seorang kawan tentang hasil putusan PSSI terhadap kisruh yang ada dalam tubuh Arema Indonesia. Kisruh yang telah menyedot seluruh perhatian Aremania bahkan hampir seluruh pengamat sepakbola Indonesia, salah satu fase terberat dalam sejarah perkembangan Arema Indonesia, dan semoga pelajaran berharga ini bisa kita semua jadikan pelajaran, sehingga tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang.

Kenapa saya katakan The Show Begin, karena memang sesungguhnya baru setelah inilah tarik ulur kepentingan memperebutkan Klub Sepakbola yang sangat saya cintai ini akan benar-benar dimulai, dalam penerawangan saya, Kubu RK yang dikalahkan PSSI jelas tidak akan tinggal diam, dan benar saja mereka langsung menggelar demo dikantor PSSI, bukan RK memang, tapi pendukungnya, dan inilah yang membuat saya sakit, karena Aremania kini telah terkotak-kotak. Demo adalah sebuah awalan, untuk selanjutnya mungkin akan ada jalan lain yang ditempuh, dan ini tidak akan berakhir cepat kecuali pihak RK mau secara sportif berlapang dada demi Arema.

Tapi, seperti apa yang saya tuliskan di tulisan saya sebelumnya bahwa Sportivitas hanya aktual di wilayah-wilayah romantik. Masing-masing kita menjagokan kesebelasan sendiri-sendiri. Pertimbangan kita bukan sportivitas, melainkan selera pribadi. Selera pribadi inilah yang menjadikan kita subjektif dan tidak memandang permasalahan secara objektif. Sehingga akan sangat sulit mungkin untuk mengharapkan kubu RK berlapang dada dalam menghadapi masalah ini. Karena tidak hanya “kehilangan” Arema, bagi RK ini juga berarti kehilangan potensi pemasukan hampir 2 M dari sektor pajak untuk Kabupaten Malang, daerah yang dia pimpin saat ini. Selain itu juga berarti kehilangan promosi bagi Kabupaten Malang, disamping juga kerugian-kerugian dari faktor ekonomis bagi Kabupaten Malang baik Pemda maupun masyarakatnya, dan tentu ini adalah sebuah kehilangan yang sangat besar bagi RK sebagai personal dan Bupati.

Seperti yang biasa terjadi, pihak yang kalah akan selalu meradang, dan yang menang akan selalu senang, selalu sulit menerima kekalahan, sangat sulit. Dibutuhkan mental yang sangat membaja dalam menghadapi sebuah kekalahan, bahkan lebih mudah menghadapi sebuah kemenangan, jadi jika sudah seperti itu, bisa juga, untuk segera mengakhiri konflik ini, pihak M. Nur mau berlapang dada, memberikan hak pengelolaan Arema kepada kubu RK, yang selama ini juga sudah bekerja keras menjaga tim ini selama M. Nur menghilang entah kemana. Toh pihak M. Nur juga tidak akan terlalu banyak kehilangan secara materi maupun potensi politik. Atau mungkin, biar sedikit lebih adil, kedua kubu sama-sama mundur, dan menyerahkan pengelolaan Arema Indonesia kepada pihak yang pertama kali menyerahkan Arema kembali kepada publik, PT. Bentoel, jika Bentoel tidak bersedia, maka serahkan pada pihak lain yang bisa dan sanggup mengelola Arema, jangan kepada Aremania, karena Aremania sudah terkotak-kotak pada masing-masing kubu. Tapi, jalan yang terbaik dalam pandangan saya adalah, kembali bersilaturahim, kembali bersama, bergandengan tangan demi memajukan Arema. Karena masing-masing pihak memiliki potensi yang besar untuk bersama membesarkan Arema.

Tapi jika tidak ada yang mau mengalah, maka semuanya akan menjadi sangat panjang dan berlarut-larut. kedua kubu yang berseteru di Arema bisa meniru Claudio Ranieri, bekas pelatih Valencia, Chelsea, Juventus, dan AS Roma itu akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pelatih AS Roma beberapa bulan yang lalu, pelatih yang dalam beberapa kasus seringkali meninggikan harga dirinya sebagai pelatih nomor wahid ketika dilengserkan, tapi demi AS Roma, dia rela mengundurkan diri, seperti yang ditulis oleh Susy Campanale disalah satu tabloid sepakbola tanah air, itu semua karena Ranieri mencintai AS Roma. Saya punya keyakinan, sebagai orang-orang yang memiliki hubungan emosional sangat dekat dengan Malang Raya dan Arema, kedua kubu memiliki rasa cinta yang begitu mendalam kepada Arema, begitu juga kepada sepakbola. Jika sudah seperti itu, maka meniru apa yang dilakukan Ranieri untuk AS Roma bisa segera dilaksanakan oleh salah satu dari kedua kubu, atau mungkin keduanya, demi rasa cintanya kepada Malang Raya, demi rasa cintanya kepada Arema, demi rasa cintanya kepada olahraga terhebat sepenjang masa, Sepakbola.

Mundur bukanlah sebuah hal yang buruk, lihat bagaimana mantan presiden Soeharto hingga akhir hayatnya masih banyak masyarakat yang mencintainya, semua itu karena rakyat tahu Soeharto mundur demi rasa cintanya pada negeri dan rakyat. Waktu itu bisa saja Soeharto melakukan apa yang dilakukan oleh Moammar Khadafi hari ini, dengan membunuh semua demonstran yang ada, karena militer berada dibawah kekuasaannya, dia adalah salah satu dari dua dari Jendral berbintang lima di Indonesia, jendral yang layak dipanggil sebagai Jendral Besar, bersanding dengan Panglima Besar Jendral Sudirman, tapi Soeharto akhirnya lebih memilih mengundurkan diri, dengan membacakan sendiri pengunduran dirinya, tidak seperti presiden mesir Hosni Mubarok yang memilih untuk menyingkir dan menyelamatkan diri. Dan apabila salah satu kubu, atau keduanya mundur dari perseteruan hari ini, ditengah gelombang kebimbangan Aremania, maka sesungguhnya mereka telah menjadi martir, untuk mempersatukan kembali seluruh pencinta Arema Indonesia.

Suasana seperti ini tidaklah dapat dibiarkan, karena akan terus memberikan efek-efek negatif lainnya kepada Arema maupun Aremania. Saat ini saja, seperti yang saya tulis di atas, Aremania sudah terkotak-kotak, sudah mulai saling menghujat antar Aremania sendiri ketika mereka berada dalam posisi kubu yang saling berlawanan, sehingga saat ini bagi saya, Salam Satu Jiwa telah mati, dan Aremania telah kehilangan jati diri. Aremania tidak lagi bisa menghargai segala perbedaan pendapat, yang ada hanyalah saling hujat, semua merasa benar sendiri, kemana semua semangat Egalitarian yang membuat Malang Raya sangat dihormati.

Kita (Aremania) tidak terbangun dari sesuatu yang instan, kita terbangun dari sebuah semangat persaudaraan, semangat kebersamaan, dan egalitarian, sebagai sesama loyalis Arema, tim yang selalu kita dukung dan bela dengan segala apa yang kita miliki. Kini semangat itu hanya tinggal slogan, salam satu jiwa hanya tinggal menjadi pemanis bibir dan tidak tertancap dalam hati. Yang ada sekarang hanyalah kesombongan, merasa kita kelompok supporter terbaik, paling kompak dan kreatif, padahal kondisinya, kita sedang sibuk saling hujat dan saling serang antar sesama saudara sendiri, sesama Aremania.

Saya tidak ingin, ketika saya memakai kaos Arema, ditanya oleh seseorang “Sampeyan Aremania versi Rendra opo M. Nur?”, itu akan menjadi pertanyaan paling memalukan dan menyakitkan hati saya sebagai seorang Aremania. Saya hanya mencintai Arema, Arema dengan warna kebesaran Biru, dengan lambang Kepala Singa di dada, Arema yang ada di Malang Raya, Arema yang didukung oleh Aremania yang tidak mudah terpecah belah. Saya mencintai Arema karena Arema itu sendiri, dan karena Arema adalah sepakbola itu sendiri. Saya tidak peduli siapa yang sedang memimpin di Arema, asal Arema tidak dibiayai pemerintah, saya akan tetap datang ke stadion, mendukung Arema, merindukan, dan mencintainya. Tapi ketika Arema dibiayai uang negara, saya akan tetap mencintai Arema, tapi saya tidak akan pernah lagi hadir di stadion manapun Arema bertanding, seberapapun rindunya saya.

Semua permasalahan yang terjadi hari ini, hanyalah karena Arogansi, egoisme, dan tentu saja politik tahi kucing yang menjadikan Arema sebagai kuda pacu kepentingan politik.  Sayangnya, Aremania telah terperangkap didalam kepentingan politik personal itu, mulai membela orang dan bukan Arema itu sendiri. Maka pertanyaannya siapa yang sebenarnya Aremania cintai, pemimpin Arema (orang)  atau Arema itu sendiri (Klub)?.

Saya bukan orang yang membenci politik, saya mencintai politik, tapi politik beretika yang saya cintai, politik yang tidak hanya mementingkan menang dan kalah, tapi politik yang lebih mementingkan nilai dan bukan hanya hitung-hitungan suara. Politik yang tidak merugikan kepada masyarakat, tapi politik yang seperti hakikatnya, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam La Politica, sebuah jalan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan jalan kekuasaan.

Sepakbola memang selalu bersinggungan dengan politik seperti yang dirumuskan oleh Gordon Brown, seorang politisi Inggris yang sangat menggilai sepakbola, dengan rumus singkat bahwa Sepakbola = Popularitas, atau dalam rumus panjanganya “Bayangkan sebuah dunia dimana politisi dipuja seperti David Beckham atau punya kekuatan seperti Sir Alex Ferguson. Akhirnya anda bisa memahami kenapa mereka terus terlibat di sepakbola” yang dapat diartikan, ketika bersentuhan dan menjadi sosok penting dalam sepakbola, maka anda akan menjadi orang yang populer, dan dengan kepopuleran anda, makan anda bisa memenangkan apapun dalam politik.

Yang perlu diingat, Arema bukanlah milik Aremania, Aremania hanyalah sekelompok orang yang mencintai Arema, sekelompok orang yang merasa memiliki, tapi tidak benar-benar memiliki. Kepemilikan Aremania kepada Arema hanyalah berdasarkan pada cinta, cinta yang bersyarat. Karena saya yakin, jika mau jujur, masing-masing dari kita (Aremania), memiliki syarat dalam mencintai Arema. Karena bila cinta kita murni, kita akan saling menghormati sesama pencinta Arema, tidak saling hujat dan menyalahkan karena berbeda kubu. Karena sesungguhnya Arema itu, hanya satu.

Sebagai akhir tulisan ini, saya teringat sebuah lagu yang lumayan sering dinyanyikan di stadion ketika Arema bertanding, “Koen jare sopo, onok seng iso, ngalahno Aremania lha kok iso?”. Sekarang saya tahu jawaban dari pertanyaan itu, Aremania-lah yang bisa mengalahkan Aremania itu sendiri, kata siapa itu, itu kata realita dan fakta hari ini, bahwa Aremania telah dikalahkan oleh Aremania itu sendiri.

Jika sudah seperti ini kondisinya, saya hanya mampu berucap,

Selamat Menempuh Hidup Baru, Arema.

 

Petilasan Brontoseno, 29 September 2011

00.11 WIB

Tinggalkan komentar