Runner-Up, Cukupkah Arema ?

Image

Indonesia, tempat dimana setiap kegagalan penuh dengan permakluman, tempat dimana setiap ketidak berhasilan dianggap sebagai rencana Tuhan, yang penting berusaha, dan mensyukuri apa yang sudah di dapat, bersyukur, percaya atau tidak itulah yang membuat rakyat Indonesia mampu bertahan dari segala terpaan kerasnya hidup. Bisa tetap tersenyum ramah meskipun tidak tau besok akan makan apa, bahkan kadang cukup berani dengan sangat pasrah menyatakan “Keadaan Bos” untuk semua kesusahan hidup yang dijalani.

Namun, budaya bersyukur ini juga memiliki efek buruk kalau dalam pandangan saya, kita selalu berbangga diri dengan cukup hampir menjadi juara, tetap senang meskipun kalah dengan catatan sudah bermain bagus, meskipun kadang apa yang kita miliki seharusnya membuat kita berada di garis depan, membuat kita menjadi pemenang, menjadi JUARA !!.

Lihatlah sebentar kepada tim kebanggaan kita, Arema Indonesia (ooh maafkan atau sudah jadi Arema Cronus sekarang ?), ah entahlah saya sebut saja Arema tanpa embel-embel Indonesia ataupun Cronus apalagi dengan embel-embel ISL atau IPL. Arema yang bermain di kompetisi ISL ini merupakan Tim Bertabur Bintang, mulai dari Penjaga Gawang sampai Penggedor Gawang Lawan adalah jaminan mutu Tim Nasional Indonesia, dari segi kualitas pemain, kita punya segala syarat untuk menjadi juara ISL 2012/2013, masih ada pemain-pemain dari sisa-sisa kedahsyatan Arema Indonesia saat menjuarai ISL di bawah asuhan meneer Belanda -yang namanya haram bagi saya, karena hanya akan membuat saya menoleh ke belakang pada sosok yang sangat kita hormati bersama ini dan tentu saja akan membandingkan semua pelatih Arema dengan meneer ini, dan itu tidak adil menurut saya-, ada Kurnia Meiga yang dengan segala puja-puji saya kepadanya, saya memberikan julukan Meiga Mind kepadanya, Purwaka Yudhi, Beny Wahyudi, Dendy Santoso, Sunarto. Belum lagi sosok loyalis sejati yang bahkan sang Meneer Belanda itu-pun tak mau menyingkirkannya, Joko Susilo, lalu ada nama Kayamba Gumbs, Victor Igbonefo, Thiery Gattuesi, Christian Gonzales, Beto Goncalves, dan tentu saja sang Head Coach Rahmad Darmawan, nama-nama itu adalah nama-nama yang memiliki pengalaman menjadi Juara di masa lalu, dan tentu saja, nama-nama itu harusnya memiliki mental yang bagus dalam setiap pertandingan, bermental Juara.

Bermental Juara, saya jadi ingat perkataan Meneer Belanda-itu ketika diwawancara oleh gadis cantik bernama Ida Ayu Dewi di Match Terakhir melawan Persija Jakarta yang kita menangkan dengan skor 1-5, sang meneer Belanda-itu berkata “as the Champion we must play as Champion” yang artinya kurang lebih “Sebagai Juara, maka kita harus bermain selayaknya Juara”. Dan untuk kasus Arema pada musim kompetisi ini, entah bagian mana yang salah, yang jelas kita tidak benar-benar bermain seperti juara, kita selalu terburu-buru ketika tertinggal dari lawan, padahal salah satu bentuk adanya mental juara adalah bermain dengan tetap tenang dan tidak terburu-buru apapun yang terjadi. Lihat bagaimana Liverpool berhasil mengalahkan AC Milan di Final Liga Champions Eropa saat mereka sudah tertinggal 3 gol tanpa balas dari klub milik Silvio Berlusconi ini, pemain Liverpool tetap tenang, bermain penuh dengan semangat dan determinasi pada babak kedua, hasilnya, kita semua tau bagaimana hasil akhirnya. Begitu pula Juventus yang kembali berhasil menguasai Italy setelah hancur lebur pasca kasus Calciopoli, dan salah satu faktor penting yang banyak diakui oleh Juventini sebagai penyebab kesuksesan Juventus dua musim terakhir adalah kembalinya Lo Spirito Juventus atau dalam pemaknaan umumnya adalah kembalinya Mental Juara Juventus.

Berkaca dari kasus Juventus, nampaknya inilah yang sedang terjadi dalam tubuh Arema, perombakan besar setelah dihantam badai perpecahan, dengan mendatangkan pemain-pemain bintang ke Arema, namun sayangnya beberapa pemain bermain dengan ego individualitas kebintangan mereka yang besar, padahal sepakbola adalah permainan Tim. Nampaknya manajemen lupa, mental Juara tidaklah bisa di beli, mental juara itu terbentuk, dari sikap mental yang tidak mau kalah dan penuh determinasi tinggi. Saya menyukai pemain bengal macam Wayne Rooney, Gennaro Gattuso, Edgar Davids, Roy Keane, Eric Cantona, Paolo Montero, Kuncoro, Putu Gede, dan tentu saja Kurnia Meiga, pemain semacam ini memiliki mental yang kuat, hanya perlu tangan pelatih yang tepat agar kebengalan mereka bisa bermanfaat bagi tim, dan itulah yang sukses dilakukan oleh Sir Alex Ferguson, Marcello Lippi, Carlo Ancelotti, dan tentu saja si Meneer Belanda-itu.

Musim ini, nampaknya Rahmad Darmawan kurang berhasil menumbuhkan mental juara dalam hati dan pikiran semua Pemain Arema, sehingga pemain cenderung mudah frustasi ketika gagal segera mencetak gol, yang akhirnya berujung pada keputus asaan dan berakhir pada sebuah pertandingan yang seringkali monoton dan berujung kekalahan atau hasil seri.

Beruntung Arema masih bisa menempati posisi 2 di klasemen akhir ISL pada akhirnya, meskipun dengan pemain yang lebih mentereng dari Persipura, kita harusnya benar-benar layak juara, namun jika melihat pola permainan dan apa yang terjadi di lapangan, saya dengan lapang dada mengatakan memang Persipura lebih baik dari kita, dan mereka layak juara. Lalu, cukupkah gelar runner-up ini untuk Arema ?. Saya secara pribadi menyatakan tidak, entah rekan-rekan Aremania yang lain, kita layak mendapat lebih dengan kondisi skuad yang ada, kita harusnya tampil lebih baik dari ini, jauh lebih baik dari ini. Buat saya runner-up bukanlah gelar, itu adalah sebentuk penghinaan secara halus untuk menyatakan bahwa kita tidak Juara, bahwa kita Kalah.

Lalu bagaimana, bukankah semua yang sudah Tuhan berikan ke kita harus kita syukuri ? Iya, itu benar, mensyukuri nikmat Tuhan bukan hanya dengan kemudian hanya berucap Alhamdulillah, atau “terima kasih Tuhan, kami masih bisa peringkat dua”, mensyukuri nikmat Tuhan, berarti kita harus menjadi lebih baik, bukan hanya secara permainan, namun juga secara mental, mental tidak mau kalah dan ingin selalu jadi juara. Seperti yang lagi-lagi dikatakan oleh meneer Belanda-itu “winning is our habbit” artinya kurang lebih “menang adalah kebiasaan kita”, mental ini yang harus ditumbuhkan dalam setiap diri pemain Arema, dengan tetap mengedepankan kekompakan tim, perduli setan dengan nama besar dan status bintang, Klub (tim) itu lebih besar dari pemain, nama klub (tim) yang harus dijaga, bukan nama kebintangan pribadi yang akhirnya membuat pemain bermain secara individualis.

Di akhir tulisan ini, tidak perlulah saya membahas tentang Arema yang belaga di IPL, peringkatnya jauh lebih buruk daripada Arema yang bermain di ISL, jadi tentu akan lebih banyak caci-maki dari saya untuk mereka. Tak perlu juga saya mengucapkan selamat dan merayakan keberhasilan Arema berada di peringkat dua di ISL musim ini, toh peringkat dua bukanlah apa-apa dalam sepakbola, seperti yang dikatakan oleh Jose Mourinho “Dunia hanya akan mengenal sang juara, nomor dua adalah pecundang” atau kata sang Manajer legendaris Liverpool Bill Shankly yang dengan tegas menyatakan “if you are first, you first, if you are second, you are nothing” .

Selamat Menempuh Hidup Baru, Arema

And The Show Begin,,itulah yang bisa saya ucapkan begitu mendengar dari seorang kawan tentang hasil putusan PSSI terhadap kisruh yang ada dalam tubuh Arema Indonesia. Kisruh yang telah menyedot seluruh perhatian Aremania bahkan hampir seluruh pengamat sepakbola Indonesia, salah satu fase terberat dalam sejarah perkembangan Arema Indonesia, dan semoga pelajaran berharga ini bisa kita semua jadikan pelajaran, sehingga tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang.

Kenapa saya katakan The Show Begin, karena memang sesungguhnya baru setelah inilah tarik ulur kepentingan memperebutkan Klub Sepakbola yang sangat saya cintai ini akan benar-benar dimulai, dalam penerawangan saya, Kubu RK yang dikalahkan PSSI jelas tidak akan tinggal diam, dan benar saja mereka langsung menggelar demo dikantor PSSI, bukan RK memang, tapi pendukungnya, dan inilah yang membuat saya sakit, karena Aremania kini telah terkotak-kotak. Demo adalah sebuah awalan, untuk selanjutnya mungkin akan ada jalan lain yang ditempuh, dan ini tidak akan berakhir cepat kecuali pihak RK mau secara sportif berlapang dada demi Arema.

Tapi, seperti apa yang saya tuliskan di tulisan saya sebelumnya bahwa Sportivitas hanya aktual di wilayah-wilayah romantik. Masing-masing kita menjagokan kesebelasan sendiri-sendiri. Pertimbangan kita bukan sportivitas, melainkan selera pribadi. Selera pribadi inilah yang menjadikan kita subjektif dan tidak memandang permasalahan secara objektif. Sehingga akan sangat sulit mungkin untuk mengharapkan kubu RK berlapang dada dalam menghadapi masalah ini. Karena tidak hanya “kehilangan” Arema, bagi RK ini juga berarti kehilangan potensi pemasukan hampir 2 M dari sektor pajak untuk Kabupaten Malang, daerah yang dia pimpin saat ini. Selain itu juga berarti kehilangan promosi bagi Kabupaten Malang, disamping juga kerugian-kerugian dari faktor ekonomis bagi Kabupaten Malang baik Pemda maupun masyarakatnya, dan tentu ini adalah sebuah kehilangan yang sangat besar bagi RK sebagai personal dan Bupati.

Seperti yang biasa terjadi, pihak yang kalah akan selalu meradang, dan yang menang akan selalu senang, selalu sulit menerima kekalahan, sangat sulit. Dibutuhkan mental yang sangat membaja dalam menghadapi sebuah kekalahan, bahkan lebih mudah menghadapi sebuah kemenangan, jadi jika sudah seperti itu, bisa juga, untuk segera mengakhiri konflik ini, pihak M. Nur mau berlapang dada, memberikan hak pengelolaan Arema kepada kubu RK, yang selama ini juga sudah bekerja keras menjaga tim ini selama M. Nur menghilang entah kemana. Toh pihak M. Nur juga tidak akan terlalu banyak kehilangan secara materi maupun potensi politik. Atau mungkin, biar sedikit lebih adil, kedua kubu sama-sama mundur, dan menyerahkan pengelolaan Arema Indonesia kepada pihak yang pertama kali menyerahkan Arema kembali kepada publik, PT. Bentoel, jika Bentoel tidak bersedia, maka serahkan pada pihak lain yang bisa dan sanggup mengelola Arema, jangan kepada Aremania, karena Aremania sudah terkotak-kotak pada masing-masing kubu. Tapi, jalan yang terbaik dalam pandangan saya adalah, kembali bersilaturahim, kembali bersama, bergandengan tangan demi memajukan Arema. Karena masing-masing pihak memiliki potensi yang besar untuk bersama membesarkan Arema.

Tapi jika tidak ada yang mau mengalah, maka semuanya akan menjadi sangat panjang dan berlarut-larut. kedua kubu yang berseteru di Arema bisa meniru Claudio Ranieri, bekas pelatih Valencia, Chelsea, Juventus, dan AS Roma itu akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pelatih AS Roma beberapa bulan yang lalu, pelatih yang dalam beberapa kasus seringkali meninggikan harga dirinya sebagai pelatih nomor wahid ketika dilengserkan, tapi demi AS Roma, dia rela mengundurkan diri, seperti yang ditulis oleh Susy Campanale disalah satu tabloid sepakbola tanah air, itu semua karena Ranieri mencintai AS Roma. Saya punya keyakinan, sebagai orang-orang yang memiliki hubungan emosional sangat dekat dengan Malang Raya dan Arema, kedua kubu memiliki rasa cinta yang begitu mendalam kepada Arema, begitu juga kepada sepakbola. Jika sudah seperti itu, maka meniru apa yang dilakukan Ranieri untuk AS Roma bisa segera dilaksanakan oleh salah satu dari kedua kubu, atau mungkin keduanya, demi rasa cintanya kepada Malang Raya, demi rasa cintanya kepada Arema, demi rasa cintanya kepada olahraga terhebat sepenjang masa, Sepakbola.

Mundur bukanlah sebuah hal yang buruk, lihat bagaimana mantan presiden Soeharto hingga akhir hayatnya masih banyak masyarakat yang mencintainya, semua itu karena rakyat tahu Soeharto mundur demi rasa cintanya pada negeri dan rakyat. Waktu itu bisa saja Soeharto melakukan apa yang dilakukan oleh Moammar Khadafi hari ini, dengan membunuh semua demonstran yang ada, karena militer berada dibawah kekuasaannya, dia adalah salah satu dari dua dari Jendral berbintang lima di Indonesia, jendral yang layak dipanggil sebagai Jendral Besar, bersanding dengan Panglima Besar Jendral Sudirman, tapi Soeharto akhirnya lebih memilih mengundurkan diri, dengan membacakan sendiri pengunduran dirinya, tidak seperti presiden mesir Hosni Mubarok yang memilih untuk menyingkir dan menyelamatkan diri. Dan apabila salah satu kubu, atau keduanya mundur dari perseteruan hari ini, ditengah gelombang kebimbangan Aremania, maka sesungguhnya mereka telah menjadi martir, untuk mempersatukan kembali seluruh pencinta Arema Indonesia.

Suasana seperti ini tidaklah dapat dibiarkan, karena akan terus memberikan efek-efek negatif lainnya kepada Arema maupun Aremania. Saat ini saja, seperti yang saya tulis di atas, Aremania sudah terkotak-kotak, sudah mulai saling menghujat antar Aremania sendiri ketika mereka berada dalam posisi kubu yang saling berlawanan, sehingga saat ini bagi saya, Salam Satu Jiwa telah mati, dan Aremania telah kehilangan jati diri. Aremania tidak lagi bisa menghargai segala perbedaan pendapat, yang ada hanyalah saling hujat, semua merasa benar sendiri, kemana semua semangat Egalitarian yang membuat Malang Raya sangat dihormati.

Kita (Aremania) tidak terbangun dari sesuatu yang instan, kita terbangun dari sebuah semangat persaudaraan, semangat kebersamaan, dan egalitarian, sebagai sesama loyalis Arema, tim yang selalu kita dukung dan bela dengan segala apa yang kita miliki. Kini semangat itu hanya tinggal slogan, salam satu jiwa hanya tinggal menjadi pemanis bibir dan tidak tertancap dalam hati. Yang ada sekarang hanyalah kesombongan, merasa kita kelompok supporter terbaik, paling kompak dan kreatif, padahal kondisinya, kita sedang sibuk saling hujat dan saling serang antar sesama saudara sendiri, sesama Aremania.

Saya tidak ingin, ketika saya memakai kaos Arema, ditanya oleh seseorang “Sampeyan Aremania versi Rendra opo M. Nur?”, itu akan menjadi pertanyaan paling memalukan dan menyakitkan hati saya sebagai seorang Aremania. Saya hanya mencintai Arema, Arema dengan warna kebesaran Biru, dengan lambang Kepala Singa di dada, Arema yang ada di Malang Raya, Arema yang didukung oleh Aremania yang tidak mudah terpecah belah. Saya mencintai Arema karena Arema itu sendiri, dan karena Arema adalah sepakbola itu sendiri. Saya tidak peduli siapa yang sedang memimpin di Arema, asal Arema tidak dibiayai pemerintah, saya akan tetap datang ke stadion, mendukung Arema, merindukan, dan mencintainya. Tapi ketika Arema dibiayai uang negara, saya akan tetap mencintai Arema, tapi saya tidak akan pernah lagi hadir di stadion manapun Arema bertanding, seberapapun rindunya saya.

Semua permasalahan yang terjadi hari ini, hanyalah karena Arogansi, egoisme, dan tentu saja politik tahi kucing yang menjadikan Arema sebagai kuda pacu kepentingan politik.  Sayangnya, Aremania telah terperangkap didalam kepentingan politik personal itu, mulai membela orang dan bukan Arema itu sendiri. Maka pertanyaannya siapa yang sebenarnya Aremania cintai, pemimpin Arema (orang)  atau Arema itu sendiri (Klub)?.

Saya bukan orang yang membenci politik, saya mencintai politik, tapi politik beretika yang saya cintai, politik yang tidak hanya mementingkan menang dan kalah, tapi politik yang lebih mementingkan nilai dan bukan hanya hitung-hitungan suara. Politik yang tidak merugikan kepada masyarakat, tapi politik yang seperti hakikatnya, seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam La Politica, sebuah jalan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan jalan kekuasaan.

Sepakbola memang selalu bersinggungan dengan politik seperti yang dirumuskan oleh Gordon Brown, seorang politisi Inggris yang sangat menggilai sepakbola, dengan rumus singkat bahwa Sepakbola = Popularitas, atau dalam rumus panjanganya “Bayangkan sebuah dunia dimana politisi dipuja seperti David Beckham atau punya kekuatan seperti Sir Alex Ferguson. Akhirnya anda bisa memahami kenapa mereka terus terlibat di sepakbola” yang dapat diartikan, ketika bersentuhan dan menjadi sosok penting dalam sepakbola, maka anda akan menjadi orang yang populer, dan dengan kepopuleran anda, makan anda bisa memenangkan apapun dalam politik.

Yang perlu diingat, Arema bukanlah milik Aremania, Aremania hanyalah sekelompok orang yang mencintai Arema, sekelompok orang yang merasa memiliki, tapi tidak benar-benar memiliki. Kepemilikan Aremania kepada Arema hanyalah berdasarkan pada cinta, cinta yang bersyarat. Karena saya yakin, jika mau jujur, masing-masing dari kita (Aremania), memiliki syarat dalam mencintai Arema. Karena bila cinta kita murni, kita akan saling menghormati sesama pencinta Arema, tidak saling hujat dan menyalahkan karena berbeda kubu. Karena sesungguhnya Arema itu, hanya satu.

Sebagai akhir tulisan ini, saya teringat sebuah lagu yang lumayan sering dinyanyikan di stadion ketika Arema bertanding, “Koen jare sopo, onok seng iso, ngalahno Aremania lha kok iso?”. Sekarang saya tahu jawaban dari pertanyaan itu, Aremania-lah yang bisa mengalahkan Aremania itu sendiri, kata siapa itu, itu kata realita dan fakta hari ini, bahwa Aremania telah dikalahkan oleh Aremania itu sendiri.

Jika sudah seperti ini kondisinya, saya hanya mampu berucap,

Selamat Menempuh Hidup Baru, Arema.

 

Petilasan Brontoseno, 29 September 2011

00.11 WIB

For Better (Football) Indonesia

Beberapa tahun yang lalu, disebuh forum santai di Universitas Trisakti yang dipandu oleh budayawan Emha Ainun Najdib, sosok tambun dengan kacamata besar, yang ketika berjalan harus dibantu oleh orang lain, Abdurrahman Ad-Dakhil, alias Abdurrahman Wahid begitu kebanyakan orang mengenal beliau, atau Gus Dur, begitu lebih banyak orang memanggil beliau, mengatakan “Revolusi kita telah hilang, sementara reformasi dicuri orang”. Sebuah ungkapan yang akan membuat orang tertawa ketika pertama kali mendengarnya secara langsung pada waktu itu, tapi ketika sendirian, kita akan mengerutkan dahi, dan memikirkannya.

Begitulah sejarahnya negeri ini, Revolusi besar-besaran di tahun 1966 yang berujung pada turunnya proklamator kemerdekaan, Soekarno, membawa negeri ini menuju orde baru, dipimpin oleh Sang Arjuna, Soeharto, Indonesia menjadi sebuah negara berkembang yang rajin membangun, disokong oleh hutang dan kekuatan militer, jadilah Indonesia berada disebuah masa dimana otoritarian dan hutang menjadi hantu baru negeri. Membawa rakyat dari satu kesusahan, menuju sebuah kesusahan yang lain. Dari penderitaan ekonomi yang sangat dimasa orde lama, menuju penderitaan terhadap kebebasan dalam mengekspresikan apa yang ada di dalam otak dan kreatifitas.

Tahun 1998, apa yang dinamakan reformasi terjadi di Indonesia, digerakan oleh mahasiswa, gerakan ini menjadi gerakan utama dalam upaya untuk menurunkan presiden Soeharto dari jabatan Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), upaya penurunan sukses besar, walaupun dalam pandangan saya tidak ada penurunan, yang ada presiden Soeharto mengundurkan diri. Tapi ini cukup bagi semua demonstran, dan disinilah, para demonstran kecurian, mahasiswa terlalu larut dalam euforia turunnya Soeharto, sehingga melupakan bahwa penurunan presiden saja tidak cukup untuk kemudian merubah segala struktur yang ada di Indonesia, dan masa transisi ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk kemudian mencoba mencari kekuasaan, semuanya terjadi karena satu hal, demonstran, yang diwakili mahasiswa tidak menyiapkan sebuah system baru untuk menggantikan system lama yang telah rusak dan korup, akibatnya, seperti yang dikatakan Gus Dur, reformasi kita dicuri orang, karena orang-orang yang tidak turut dalam proses sejak awal yang kemudian mengambil alih, dengan tujuan untuk mencari kekuasaan bagi keuntungan pribadi dan golongan.

Namun nampaknya, kita tidak banyak belajar dari pengalaman-pengalaman itu. Gelombang besar-besaran revolusi PSSI, ternyata hampir sama kondisinya dengan reformasi negeri di tahun 1998. Supporter berada dibarisan terdepan menuntut Nurdin Halid mundur, Menegpora tidak mengakui kepengurusan Nurdin Halid serta mencabut segala fasilitas yang diterima PSSI selama ini, hingga akhirnya FIFA membentuk Komisi Normalisasi, dan membuat Nurdin Halid tidak lagi berkuasa dalam tubuh PSSI, tapi setelah itu, lihat siapa yang mencoba mengambil alih kemudi untuk menjalankan mobil bernama PSSI, orang-orang status quo. Yang terjadi, adalah perebutan kekuasaan untuk menduduki kursi PSSI 1, selain Komisi Normalisasi, ada Kelompok 78 yang mencoba untuk melakukan kongres tandingan PSSI, entahlah saya tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran mereka, FIFA sudah menentukan, tapi kenapa mereka masih mencoba untuk melawan.

Saya tahu, ini adalah kepentingan politis, ketika keinginan mereka tidak terfasilitasi dengan keputusan FIFA yang saya lihat lebih cerdas dalam menyikapi segala kepentingan politis yang berkeliaran diseputaran PSSI, sehingga nampaknya mereka memaksakan kehendak dengan segala cara. Meskipun itu akan berakibat pada sanksi yang bisa diterima PSSI dari FIFA. Lalu, kemana supporter dalam kondisi seperti ini ?.

Revolusi PSSI dalam pandangan saya adalah sebuah bentuk revolusi yang hadir dari grassroot sepakbola Indonesia, yakni supporter tentunya, supporter yang menginginkan perbaikan dalam sistem persepakbolaan Indonesia dimana salah satu yang diinginkan adalah menurunkan Nurdin Halid dan kroni-kroninya, karena mereka dianggap ulat yang selalu menggerogoti sepakbola Indonesia, sehingga sepakbola tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya. Ketika NH sudah turun, maka pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana kita akan menjalanai masa transisi ini, masa transisi ini adalah masa yang sangat penting, jika kita gagal dalam masa transisi ini, maka sepakbola kita juga akan sama saja atau bahkan lebih buruk dari sebelumnya, jika masa transisi berjalan dengan baik, maka Insya Allah sepakbola Indonesia akan menjadi lebih baik.

Dengan bergulirnya revolusi PSSI ini supporter harus bertanggung jawab penuh dalam mengawal segala proses yang terjadi selama masa transisi, jangan sampai revolusi PSSI ini, seperti apa yang dikatakan oleh Gus Dur, yang juga sangat mencintai sepakbola, akan dicuri orang, seperti nasib reformasi negeri ini. Supporter bertanggung jawab karena merekalah yang membuat revolusi ini terjadi, selain itu, karena hanya supporterlah yang mencintai dan menginginkan sepakbola Indonesia menjadi lebih baik, kita tidak bisa berspekulasi dengan menyerahkan tanggung jawab ini kepada orang-orang yang setali tiga uang dengan Nurdin Halid, orang-orang yang dipenuhi dengan kepentingan politis serta mencari keuntungan bagi diri pribadi maupun golongan tertentu.

Apa yang terjadi hari ini, tidak hanya akan dirasakan oleh diri kita, tapi juga anak-cucu kita, akankah anak-cucu kita akan kehilangan permainan terhebat dimuka bumi ini, akankah anak-cucu kita kehilangan kesempatan untuk menangis, tertawa, berteriak, atau bahkan menumpahkan darah karena permainan indah ini. Atau, akankah anak-cucu kita nanti tetap bernasib buruk seperti kita, tidak merasakan sebuah iklim kompetisi sepakbola yang sehat, serta memiliki tim nasional yang bisa kita dukung di Piala Dunia. Semuanya dimulai disini, sekarang, dan saat ini, jadi mari berjuang demi sepakbola Indonesia yang lebih baik.

Petilasan Brontoseno, 23 April 2011

18.17 WIB

Kemana Sportivitas itu, AREMA ??

Sepakbola itu tidak memiliki idealisme apapun, begitu kata Cak Nun, yang ada dalam sepakbola hanyalah sportivitas, sehingga, lanjut Cak Nun, Itu berarti prinsip sepakbola sama dengan agama atau ilmu. Sportivitas itu bahasa moral atau akhlaknya adalah kejujuran: kalau 5 jangan dibilang 3, kalau uang proyek 1 milyar jangan sampai di yang bersangkutan tinggal 300 juta, dengan sedikit nakal beliau melanjutkan, sama dengan kalau motret kenyataan wanita jangan hanya pinggul, susu dan bokongnya, tapi juga isi hatinya, pikiran dan kepribadiannya.

Sportivitas inilah yang saya lihat mulai sedikit menghilang dari tubuh Arema dan Aremania, tidak ada lagi kejujuran antara manajemen, pemain, jajaran pelatih, bahkan dalam tubuh Aremania itu sendiri. Ada dusta akut yang menyebabkan kita semua (Arema dan Aremania) menjadi saling tuduh, menyalahkan dan tidak percaya satu sama lain, jika kondisi sudah seperti ini, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya mengibarkan bendera putih, saya menyerah untuk merasa Arema Indonesia akan mempertahankan gelar juara tahun ini, sebelum sang juara benar-benar ditentukan secara de facto maupun de jure. Bagi saya, hanya akan menjadi sebuah lelucon hebat, ketika sebuah tim yang sangat carut-marut di dalamnya, tidak ada kepercayaan antara pemain-pelatih-manajemen, belum lagi diperparah dengan ketidak percayaan supporter bahwa tim mereka mampu untuk menjadi juara, dalam konteks hari ini, beberapa pertandingan yang sepi penonton sudah menjadi indikasi bagi saya bahwa Aremania tidak lagi percaya kepada Arema Indonesia, dan jika sudah seperti ini, maka semuanya bagi saya telah Game Over.

Selama ini, kita terlalu sering melihat dengan sebelah mata tentang apa yang terjadi, bukan berarti tidak memperhatikan, tapi seringkali kita menyelahkan orang atau kelompok lain di luar Arema atas carut-marut yang terjadi dalam tubuh Arema. Di awal musim, kita sibuk menyalahkan Liga Primer Indonesia sebagai biang kerok terpecahnya manajemen dalam tubuh Arema Indonesia, yang akhirnya mengakibatkan kondisi Arema hari ini menjadi seperti ini, terpecah, dan hanya beberapa orang saja yang masih mengurusi Arema, sehingga manajemen tidak solid, yang berimbas pada tim. Sebelumnya, kita juga menyalahkan Andi Darussalam Tabussala atas keluarnya Robert Rene Alberts, sang jenius yang mampu membuat Arema bermain indah serta menjadi juara Liga Super Indonesia untuk pertama kalinya, serta sampai dibabak final Piala Indonesia untuk ketiga kalinya.

Ketika pendapatan klub dari sector tiket tidak sefenomenal musim lalu, kita juga tidak luput menyalahkan jadwal lima laga home secara berurutan, yang mengakibatkan Aremania akhirnya kehabisan amunisi financial untuk menonton langsung ke stadion, karena tiket laga home Arema Indonesia adalah salah satu yang termahal di Indonesia. Setelah jadwal, para “pemegang tiket Halo” menjadi tersangka selanjutnya, memang ini riil terjadi, dan saya juga pernah menemuinya. Jika dalam pertandingan besar yang membuat stadion penuh, maka pemegang “Tiket Halo” ini akan sangat terasa akibatnya karena membuat stadion penuh tapi pendapatan tidak sesuai, tapi jika stadion sepi melompong, bagi saya sama saja.

Sebelum pertandingan Liga Champions Asia melawan Shandong Luneng, saya pribadi juga sempat geram dan marah dengan pemerintah Republik Rakyat China yang hanya memberikan visa kepada 14 Pemain Arema, tanpa seorangpun penjaga gawang, bahkan saya sempat berencana akan membuat tulisan “F**k China” di stadion Kanjuruhan ketika Arema melakoni laga home nanti. Tapi akhirnya saya batalkan, karena saya akhirnya sadar, ini semua juga adalah kesalahan dari Arema Indonesia, kenapa tidak mengurus visa dari jauh-jauh hari, sehingga ketika visa tidak diturunkan masih bisa melakukan pengajuan ulang.

Kalau kita kalah, atau terjadi hal buruk terhadap tim kita, selalu banyak menyalahkan pihak lain dengan berbagai alasan. Cak Nun mencontohkan, di masa kanak-kanak beliau suka berkelahi dan kalau kalah. Beliau bikin alasan: “Saakiing kunu nggowo watu….” (soalnya dia bawa batu). Di saat lain beliau bilang: “Saakiing kunu gedhe…” (soalnya dia lebih besar dari saya). Kalau sudah tak punya alasan, masih saja saya bisa bikin alasan: “Saaakiiing aku kalaaah…”

Mental seperti itu ditertawakan oleh petinju kelas berat, yang menjadi juara dunia tahun 1974 George Foreman setelah menjungkalkan Joe Frazier lima kali di ronde ke-5. Empat tahun kemudian dia kalahkan KO oleh Muhammad Ali yang jauh lebih lemah dan tua dibanding Foreman. Dua tahun dia frustrasi dan kariernya berhenti setelah kalah lagi dari petinju yang lebih lemah dari Ali. Ketika Foreman diwawancarai bersama Ali, dia bilang: “Dua tahun saya sibuk menyalahkan penonton, menyalahkan Ali dengan rope a dope-nya, tapi kemudian saya sadar bahwa saya sendirilah yang salah sehingga kalah”.

Apakah memalukan, jika kemudian kita mengakui bahwa perpecahan yang terjadi di tubuh manajemen Arema Indonesia adalah dikarenakan factor politik dan uang, yang juga dengan jelas menunjukkan tidak profesionalnya manajemen Arema Indonesia, sehingga dengan manajemen yang tidak professional, maka sebuah lelucon hebat jika kita tetap menyatakan Arema Indonesia adalah sebuah tim yang professional. Kita mungkin tanpa sokongan APBD, tapi tetap, kita tidak dikelola secara profesional.

Apakah kita juga merasa gengsi menyatakan bahwa sepinya penonton di stadion Kanjuruhan akhir-akhir ini lebih dikarenakan masalah jadwal serta kemampuan financial supporter, dan bukan dikarenakan semakin menurunnya kepercayaan Aremania terhadap tim Arema Indonesia, atau bahkan lebih buruk, ini diakibatkan oleh semangat loyalitas Aremania yang telah menurun jauh. Entahlah, mari kita Tanya pada diri masing-masing.

Apakah kita juga tidak mau mengakui bahwa kekalahan 5-0 atas Shandong Luneng serta 6-1 dari Persipura diakibatkan oleh kesalahan dari tim kita sendiri, dan bukan disebabkan oleh masalah non-teknis (meskipun itu memang ada). Inilah masalah sportivitas, kemudian, kalau memang masalah utama sepakbola adalah sportivitas, maka sesungguhnya yang ada hanyalah persaingan sportivitas. Satu kesebelasan boleh kalah 0-5 tetapi ia bisa menang sportif dibanding lawannya.

Tetapi sportivitas letaknya di akhirat, sedangkan tema keduniaan sepakbola adalah jumlah gol. Tema keduniawian adalah bagaimana caranya terlihat lebih hebat dari tim manapun, terutama dari tim senegara, bukan masalah kejujuran dan kemampuan untuk mengakui kesalahan sendiri, sehingga mengakibatkan kita kalah dan gagal.

Lucunya, kalau sportivitas nomer satu, industri sepakbola tidak jalan. Sportivitas hanya aktual di wilayah-wilayah romantik. Masing-masing kita menjagokan kesebelasan sendiri-sendiri. Pertimbangan kita bukan sportivitas, melainkan selera pribadi. Sedangkan orang yang mengerti ilmu sejati, berkata : “Engkau menjadi lemah dan kelak bisa menjadi celaka kalau menjalankan hidup bersadarkan senang tidak senang, mengandalkan selera pribadi dan kemauan sendiri. Manusia yang kuat dan akan menemukan hakekat hidup adalah yang melangkahkan kaki berdasarkan pilihan yang benar, baik dan indah, serta meninggalkan yang salah, buruk dan konyol”.

Yang perlu kita ingat, sepakbola itu permainan anak-anak, meskipun Zinedine Zidane memperoleh 4 juta dollar, Michael Owen 2,5 juta dollar, apalagi David Beckham: 5 juta dollar. Oleh karena itu, seperti lagi-lagi diingatkan oleh Cak Nun, jangan sampai sirna dari muka bumi, karena menurut Cak Nun lagi Anak-anak adalah matahari kehidupan. Anak-anak adalah keindahan yang perawan. Anak-anak adalah makhluk yang Allah tidak mengadilinya, tidak menerapkan hisab atasnya, serta merupakan penghuni utama surga-Nya.

Tapi, dunia kanak-kanak senantiasa dijajah oleh dunia orang dewasa. Anak-anak di rumah sering dianggap sebagai wadah bagi nafsu orang tuanya. Pendidikan social umum, budaya dan politik, sungguh merusak keindahan dunia anak-anak diubah menjadi dunia iblis. Sepakbola begitu indah, bagai murninya masa kanak-kanak kita. Yang main maupun yang nonton menjadi anak-anak yang hanya punya satu konsentrasi: bola masuk gawang. Sampai tuapun kita memerlukan sisi kekanak-kanakkan dalam hidup kita.

Maka sepakbola, menurut Cak Nun adalah sebuah permainan yang memberi peluang besar bagi pelampiasan psikologi kekanak-kanakan kita. Tentu saja Pele, Maradona atau Noh Alam Shah dulu adalah anak-anak. Mereka menikmati situasi kanak-kanak dengan bekal kedewasaan berpikir dan profesionalisme. Kitapun nonton Piala Dunia dengan memanjakan rasa kekanak-kanakan kita, namun harus tetap dengan bekal kedewasaan berpikir.

Seperti halnya anak-anak yang jujur, seperti itu pulalah yang harus kita lakukan demi Arema Indonesia, kejujuran masing-masing pihak sangat dibutuhkan demi masa depan Arema yang lebih baik, bersikap seperti anak-anak yang jujur, dan tentu saja seperti yang telah saya tuliskan di atas, tetap dengan kedewasaan dan profesionalitas berfikir. Dan tentu saja, anak-anak tidak mengenal politik, jadi jauhkanlah Arema Indonesia dari kepentingan politik.

Petilasan Brontoseno, 23 April 2011

19.34 WIB

Jujurlah, Demi Sang Garuda

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), kini sedang berada dalam titik nadir, titik terendah dalam sejarah PSSI yang dicatat oleh tinta sejarah, titik dimana PSSI telah benar-benar dalam kondisi genting, yang tentu saja akan membawa sepakbola Indonesia dalam kondisi genting pula. Indonesia bersama dengan Portugal, hari ini adalah Negara-negara pesakitan di hadapan FIFA, terancam menjadi negera yang namanya tidak ada dalam pentas sepakbola internasional dalam dua tahun mendatang. Inikah yang dikehendaki oleh semua pihak yang telah dengan penuh semangat turun ke jalan, meneriakkan kata agar Nurdin Halid segera mengakhiri jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI, atau minimal, dia tidak turut lagi dalam kongres PSSI yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

Saya secara pribadi jelas tidak menginginkan hal ini, bahkan ketika gelombang revolusi PSSI mengalami masa pasang saya tetap memilih untuk diam dan tidak terprovokasi untuk segera berada di tengah-tengah saudara-saudara saya sebangsa itu. Saya memilih untuk diam, dan hanya sekali membuat tulisan di Blog yang secara halus meminta Nurdin Halid segera turun dengan sukarela, seperti apa yang telah di lakukan Claudio Ranieri bersama AS. Roma. Bukan saya tidak perduli dengan sepakbola Indonesia, tapi ini adalah akibat dari kecintaan saya terhadap negeri ini dengan sepakbola di dalamnya, kecintaan berlebih dari seorang anak bangsa yang lahir di kaki Gunung Semeru.

Tempat lahir saya, dengan Mahameru-nya telah mendidik saya untuk selalu bersikap bijaksana, bila tidak bisa bijaksana, maka cobalah untuk selalu menjadi bijaksana, tapi jangan sok bijaksana, jika hal itupun tidak bisa dilakukan, maka cobalah untuk melihat segalanya dari banyak sisi, dengan banyak sudut pandang, sehingga harapan untuk keluarnya sebuah pendapat yang objektif dan tidak parsial akan semakin dekat untuk dilakukan. Jauh sebelum gerakan besar-besaran revolusi PSSI dilakukan, saya telah mengumpulkan banyak data dan fakta tentang apa yang sedang terjadi, tentang permainan politik yang sedang terjadi, tentang kepentingan masing-masing pihak, dan siapa yang akan keluar jadi pahlawan nanti, semuanya telah ditentukan, dan itu hanya bersumber dari sebuah keinginan, yakni untuk menurunkan Nurdin Halid.

Saya tidak menyalahkan Nurdin Halid jika dia memilih untuk tidak turun dari Kursi PSSI, mungkin dengan seiring berjalannya waktu, dia sadar, bahwa dalam waktu dekat atau lambat, dia akan jadi tumbal dalam permainan kepentingan ini, dan semua fakta-fakta yang saya dapatkan menunjukkan bahwa Nurdin akan jadi tumbal dari segala yang terjadi selama ini, dan saya telah membaca itu beberapa bulan yang lalu.

Ada kepentingan yang berbeda dalam urusan revolusi PSSI hari ini, golongan elite politik, semuanya bicara tentang prospek di 2014, sehinggal hadir-lah Demokrat dan PDI-Perjuangan dalam tubuh PSSI yang selama ini menjadi wilayah kekuasaan Golkar, meskipun pada kondisi hari ini yang saya lihat, PDI-Perjuangan mulai sedikit menarik diri, dan kini menyisakan Golkar dan Demokrat di dalamnya. Sementara di golongan tengah alias kaum pemodal, maka kepentingan yang ada, adalah kepentingan pembangunan dan murni bisnis, bagaimana menjadikan sepakbola Indonesia sebagai sebuah sepakbola Industri seperti yang terjadi di eropa. Dari apa yang saya dengar dari sumber yang dapat dipercaya, pendirian LPI bukanlah bertujuan untuk membentuk Liga yang professional, tapi lebih pada usaha untuk mendongkel Nurdin Halid dari kursi Ketua Umum PSSI!!.

Dalam tubuh PSSI-pun hari ini sudah semakin tidak kondusif, dalam tubuh PSSI hanya ada Nurdin Halid dan Nugraha Besoes, lalu jika sudah seperti ini apa lagi yang bisa diharapkan, gerakan supporter-pun sudah banyak yang disusupi, memanfaatkan loyalitas supporter yang terkadang membutakan. Chaos telah terjadi, dan butuh kearifan dari semua pihak untuk mengakhirinya, sepakbola negeri ini tidak mungkin dibangun di atas kebohongan dan kemunafikan, karena itu bukanlah pondasi yang kokoh dan akan sangat mudah terguncang oleh gesekan-gesekan, saatnya jujur untuk perubahan, untuk hal yang sangat kita cintai, Sepakbola Indonesia dan terutama Indonesia itu sendiri.

 

Petilasan Brontoseno, 06 Maret 2011

12.18 WIB