Oleh: Bahrul Ulum Annafi’
1.1.1. KONSTITUSI
Menurut Wirjono Projodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis Constituer yang berarti membentuk[1]. Sedangkan menurut Brian Thompson[2] secara sederhana pertanyaan “what is constitution” dapat dijawab bahwa “a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Secara sederhana konstitusi dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu suatu Negara yang dipersiapkan sebelum atau sesudah berdirinya Negara yang bersangkutan[3]. Sedangkan dibeberapa Negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional menggunakan istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai konstitusi[4].
Sampai saat ini, masih banyak pertentangan di kalangan para sarjana mengenai pengistilahan konstitusi ini, ada yang mengartikan Kontitusi lebih luas daripada Undang-undang Dasar, ada juga yang menyamakan dengan istilah Undang-Undang Dasar. Menurut van Apeldoorn, konstitusi berbeda dengan UUD, karena UUD hanya dalam bentuk yang tertulis saja sedangkan konstitusi dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis[5]. Perbedaan pemahaman tersebut pada intinya berawal dari pemikiran bahwa konstitusi dapat diklasifikasikan dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis[6].
Dalam bentuknya yang tertulis, Konstitusi menurut A.A.H. Struycken merupakan sebuah dokumen formal yang berisi [7]:
- Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
- Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
- Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
- Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Sedangkan menurut J.G. Steenbeek, pada umumnya konstitusi berisikan tiga hal pokok, yaitu [8]:
- Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya;
- Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental;
- Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Dalam cakupan yang lebih luas, Miriam Budiardjo menyatakan bahwa setiap undang-undang dasar harus berisi ketentuan tentang [9]:
- Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah Negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;
- Hak-hak asasi manusia;
- Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar;
- Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Pada dasarnya, menurut Jimly Asshidiqie, semua Konstitusi menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya[10].
Indonesia sebagai salah satu Negara yang juga memiliki konstitusi baik secara tertulis (UUD 1945), maupun tidak tertulis (kebiasaan-kebiasaan, konvensi, dll.), mengalami sebuah perubahan yang besar setelah melakukan amandemen terhadap UUD 1945, ada sebuah tanggung jawab mengenai bagaimana menjaga Supremasi Konstitusi di Indonesia.
Salah satu perubahan mendasar dalam amandemen UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini membawa perubahan yang mengakibatkan tidak adanya lagi lembaga tertinggi Negara, yang ada hanya lembaga tinggi Negara yang memiliki kedudukan sama, serta dengan mengetengahkan sistem Check and Balances.
Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-lembaga negara yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan berdasarkan kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945[11].
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah konstitusi memiliki posisi atau derajad tertinggi di Indonesia ?, apabila dilihat berdasarkan hierarki tata peraturan yang ada di Indonesia, yang terdapat dalam pasal 7 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka kedudukan UUD 1945 adalah yang paling tinggi, bahkan semua undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya tidaklah diperkenankan untuk melenceng dari UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Supremasi Konstitusi masih ada di Indonesia.
Kenapa konsitusi menjadi dasar hukum tertinggi di sebuah Negara termasuk Indonesia, ada beberapa jawaban disini, yang pertama, apabila dilihat dari aspek yuridis, konstitusi memiliki derajat yang tinggi dengan argumentasi[12] :
- Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-undang atau lembaga-lembaga;
- Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat dan harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka;
- Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitu dari proses pembuatannya, konstitusi ditetapkan oleh badan yang diakui keabsahannya.
Kedua, jika dilihat dari aspek landasan fundamental, maka konstitusi berada dibawahnya. Dengan kata lain konstitusi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dan etika moral. Jika ternyata substansi konstitusi bertentangan dengan nilai-nilai universal ataupun dengan etika moral, maka seharusnya konstitusi dikesampingkan[13]
Konstitusi dalam penyusunannya, nilai-nilai atau norma-norma dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan Negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar, karena itu suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan yuridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu difahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar[14].
Sebagai sebuah dasar hukum, perumusan isi Undang-Undang Dasar menurut Jimly Asshidiqie[15], harus disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dengan tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat lebih rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam Undang-undang. Meskipun demikian, tetap harus disadari bahwa jangan sampai ada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar memiliki makna ganda atau dapat ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa[16]. Lebih lanjut Jimly Asshidiqie menyatakan, bahwa yang terpenting dalam pembentukan Undang-Undang Dasar adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara Negara[17]. Meskipun Undang-Undang Dasar yang dirumuskan memiliki rumusan pasal-pasal yang baik, akan tetapi apabila penyelenggara Negara tidak memiliki kemauan dan tekad untuk mewujudkan rumusan Undang-Undang Dasar tersebut, maka pasal-pasal yang baik itu hanya akan muncul sebagai sebuah tulisan dan kumpulan huruf tanpa kemudian bisa menimbulkan sesuatu yang baik bagi kehidupan masyarakat.
1.1.2. KONSTITUSIONALISME
Ketika Negara-negara bangsa (nation-state) mendapatkan bentuknya yang kuat, sentralistik, dan sangat berkuasa pada abad ke-16 dan ke-17, berbagai teori politik berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem kekuasaan yang kuat itu[18]. Jimly Asshidiqie menguraikan, pada Abad ke-18 di Inggris, model sentralistik seperti itu dinamakan dengan king-in-parliament yang pada pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas[19]. Hal ini beliau dasarkan pada pendapat pada pendapat Richard S. Kay yang menyatakan[20]:
“by 1776 Blackstone was able to write that what parliament does ‘no authority upon earth can undo’ . it was partly in respone to the positing of a leviathan-state that the idea of the government of a limited purpose and therefore of limited power, was reformulated and explicated”[21].
Pada masa dimana kekuasaan penguasa sangat mutlak dengan feodal monarkhi atau oligarkhi-nya, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsung-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak saat itu, setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat dari kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarkhi dan oligarkhi, serta untuk membangun tata kehidupan baru[22].
Dalam Negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasai kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih terlindungi, gagasan ini oleh Jazim Hamidi dinamakan sebagai “Konstitusionalisme”[23]. Sedangkan C.J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshidiqie, menyatakan bahwa “constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularized restraints upon government action”[24]. Dimana basis pokoknya menurut Jazim Hamidi[25], terletak pada “Kepentingan Bersama Rakyat” yang didasarkan pada berbagai ideology seperti, Individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya. Meskipun memang pada akhirya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideology yang menjadi dasar Negara.
Sedangkan Jimly Asshidiqie dalam pemahaman yang hampir sama dengan Jazim Hamidi, menyatakan bahwa basis pokok yang utama adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan dengan Negara[26]. Jika kesepakatan umum atau general agreement tersebut runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan Negara yang bersangkutan, yang pada akhirnya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi, hal ini bisa dilihat antara lain dalam Revolusi Perancis 1789, Revolusi Amerika pada 1776, Revolusi Rusia pada 1776 maupun di Indonesia pada 1945, 1965 dan 1998[27].
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern, menurut William G. Andrews, pada umumnya difahami dengan disandarkan kepada tiga elemen konsensus, yaitu [28]:
- Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goal of society or general acceptance of the same philosophy of government)[29];
- Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the basis of government)[30];
- Kesepakatan tentang bentuk institusi-intitusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures)[31].
Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas, pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip “limited government”[32]. William G. Andrews berkaitan dengan pembatasan tersebut menyatakan “under constitutionalism, two type of limitations impinge on government. Power proscribe and procedures prescribed”[33]. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu : Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga Negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur tiga hal utama, yakni[34] :
- Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara;
- Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain;
- Mengatur hubungan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Selain tiga hal tersebut, Jazim Hamidi menambahkan tentang ketentuan mengenai perlindungan terhadap hak-hak warga negara, Jazim berargumen bahwa hal tersebut sangat penting untuk diatur dalam konstitusi[35]. Selain keempat hal di atas, dirumuskan pula beberapa fungsi konstitusi yang dianggap penting baik secara akademis maupun praktik, seperti yang dikemukakan oleh Willam G. Andrews[36] :
“the constitution imposes restraints on government as a function of constitutionalism; but it also legitimizes the power of the government. It is the documentary instrument for the transfer of authority from the residual holder –the people under democracy, the king under monarchy- to the organs state power”
(Konstitusi disatu pihak (a) menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain (b) memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan. Konstitusi juga berfungsi sebagai (c) instrument untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal –baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki- kepada organ-organ kekuasaan.)
Selain itu, Thomas Paine dalam bukunya Common Sens, mengatakan bahwa konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai a national symbol. Lebih lanjut Paine menyatakan, konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat seremonial dan fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasa dikaitkan dengan fungsi kepala Negara[37]. Karena itu, selain ketiga fungsi di atas, fungsi konstitusi dapat pula ditambah dengan fungsi-fungsi lain (d) sebagai “kepala Negara simbolik” dan (e) kitab suci simbolik dari suatu “agama civil” atau syari’at negara (civil religion)[38].
Dengan lebih terperinci, Jimly Asshidiqie menyatakan fungsi dari konstitusi adalah sebagai berikut [39]:
- Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ Negara;
- Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara;
- Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ Negara dengan warga Negara;
- Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan Negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan Negara;
- Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ Negara;
- Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity);
- Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (unity of nation);
- Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony);
- Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi;
10. Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat (social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit maupun arti luas.